Gepak Lampung Soroti Peran Bendahara Umum KONI Lampung, dalam Dugaan Korupsi Dana Hibah Rp2,5 Miliar

Bandar Lampung, ungkapkasus.id

 

Nama Liliana Ali, Bendahara Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Lampung periode 2019-2023, menjadi sorotan tajam dalam pusaran dugaan korupsi dana hibah KONI Lampung senilai Rp2,5 miliar dari total anggaran Rp29 miliar yang tengah diselidiki Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.

 

Ketua Umum Gerakan Pergerakan Anti Korupsi (Gepak) Lampung, Wahyudi, menegaskan bahwa Liliana Ali memiliki peran sentral dalam proses pencairan dana hibah tersebut, bersama Ketua Umum KONI Lampung saat itu, Yusuf Barusman.

 

“Proses pencairan uang itu harus membubuhkan tanda tangan dua orang, yaitu Ketua KONI dan Bendahara Umum KONI yang waktu itu dijabat Liliana Ali,” tegas Wahyudi kepada wartawan, Sabtu 26/7/2025.

 

Ia menyatakan, mustahil pencairan dana bisa dilakukan tanpa keterlibatan aktif Liliana Ali.

 

Oleh karena itu, Gepak mendesak Kejati Lampung untuk segera memeriksa secara serius peran dan tanggung jawab Liliana dalam aliran dana yang menjadi objek dugaan korupsi.

 

“Karena memang Ketua dan Bendahara memiliki peran penting dalam kasus KONI Lampung,” ujar Wahyudi.

 

Wahyudi juga menyoroti belum jelasnya pihak yang mengembalikan kerugian negara dalam perkara ini.

 

Hal itu, kata dia, selalu menjadi alasan klasik Kejati Lampung untuk tidak menetapkan tersangka utama.

 

“Siapakah yang mengembalikan uang kerugian negara? Ini menjadi kendala utama pihak Kejati Lampung untuk menemukan mens rea (niat jahat pelaku),” katanya.

 

Ia bahkan mengungkapkan bahwa dirinya pernah menantang langsung pihak Kejati Lampung, saat Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) dijabat Hutamrin untuk berani menetapkan siapa yang benar-benar bertanggung jawab dalam perkara tersebut.

 

“Saat itu, saya, Ketua Umum Gepak sempat tantang pihak Kejati Lampung untuk menunjukkan mens rea kasus KONI tersebut,” ungkapnya.

 

Namun hingga kini, dari puluhan orang yang telah diperiksa, belum juga ditemukan siapa tersangka yang sesungguhnya.

 

Hal ini semakin memperkuat desakan agar Kejati Lampung yang baru berani mengambil langkah konkret.

 

“Harapannya, dengan Kejati yang baru, memiliki taring untuk menuntaskan kasus ini agar bisa terungkap,” harap Wahyudi.

 

Lebih lanjut, ia mempertanyakan keseriusan Kejati Lampung dalam menangani kasus ini.

 

“Jika tidak mampu, beranikah pihak Kejati mengeluarkan SP3 agar kasus ini memiliki kepastian hukum? Jangan sampai ada lagi orang yang dikorbankan hanya demi meredam dorongan publik seperti yang terjadi pada AN,” tegasnya.

 

Sementara itu, Praktisi hukum, Indah Meilan, SH, juga menyampaikan pandangannya terhadap kasus ini. Ia membenarkan bahwa tanggung jawab pengelolaan dana hibah ada pada Ketua dan Bendahara.

 

“Ya, menanggapi pernyataan Ketua Gepak Provinsi Lampung, memang benar, sesuai dengan tugas dan tupoksi masing-masing,” kata Indah.

 

Ia menjelaskan, bendahara memiliki tugas sebagai pelaksana kebijakan keuangan, pengelola anggaran, pembukuan dan verifikasi, penyusunan laporan keuangan, serta pendampingan dan narasumber.

 

“Jadi sudah jelas peran penting seluruh pengelolaan keuangan bersumber dari bendahara atas persetujuan ketua,” tegasnya.

 

Terkait adanya markup ataupun selisih anggaran, menurutnya pihak yang bertanggung jawab penuh adalah Ketua dan Bendahara.

 

“Jadi, tidak mungkin melibatkan orang lain dalam hal ini. Orang lain itu hanya sebagai anggota, dan masing-masing memiliki fungsi yang berbeda,” ujar Indah.

 

Ia menambahkan, apabila KONI menerima hibah dari keuangan negara, maka dampaknya sudah jelas: akan bermuara pada tindak pidana korupsi.

 

“Mengenai ancaman pidananya, sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman paling singkat adalah 4 tahun dan paling lama 20 tahun,” ungkapnya.

 

“Jadi, peran serta mereka berdua Ketua dan Bendahara sangat berarti. Artinya, mereka adalah ujung tombak dari seluruh kegiatan yang ada. Maka tidak perlu mencari kambing hitam ke pihak lain,” ujarnya lagi.

 

“Saya pribadi kurang setuju jika Ketua dan Bendahara tidak dijadikan tersangka, karena peran mereka sangat jelas, dan kerugian negara yang ditimbulkan juga nyata,” pungkas Indah.

 

Sementara itu, AN yang pernah menjadi pengurus KONI Lampung bahkan pernah di tetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki kewenangan terhadap dana hibah, dan tugasnya tidak terkait langsung dengan pengelolaan anggaran.

 

“Kalau saya, adalah Wakil Ketua Bidang Perencanaan. Tidak ada tupoksi untuk mengelola uang,” jelas AN, dirilis dari Haluan Lampung beberapa waktu lalu.

 

Ia juga mengungkapkan bahwa Ketua KONI Lampung saat itu, Yusuf Barusman, telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terkait pejabat yang berwenang dalam penggunaan anggaran kegiatan PON XX.

 

“Pertama, ada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). PPK-lah yang mengeluarkan SK pejabat pemeriksa hasil, SK pejabat pengadaan barang dan jasa, serta SK empat panitia pemeriksa hasil pekerjaan,” terang AN.

(Tiem)

 

 

 

.